Loading

Komunikasi dan informasi

Komunikasi sebagai senjata, Informasi sebagai peluru dan Kita sebagai tentara

Sebuah iklan di majalah Time berlatar langit pada ketinggian 34 ribu feet, terpampang saat saya menempuh penerbangan Cathay Pacific Jakarta-Tokyo. Ia begitu mempesona. Bunyinya singkat, "You cannot get what you deserve, you get what you communicate." Seorang Doktor yang mengungkapkan kata-kata itu adalah pakar komunikasi yang sukses membina para profesional dan eksekutif terkenal di Amerika. Ia bukan Muslim, tapi saya sepakat dengan pendapatnya. Banyak contoh di sekitar kita, persoalan yang dihadapi dengan komunikasi berujung pada hasil positif, sebaliknya, tanpa komunikasi ia jadi kasus yang kian berat.

Saya teringat, suatu ketika sehabis bermain dengan dua anak perempuan saya di taman, sang kakak yang berumur 8 tahun setiba di rumah menulis di secarik kertas, dilipat-lipatnya kertas itu lalu disodorkan pada saya. Isinya sederhana, "Otousan, kyou wa isshouni asonde site kurete, arigatou nee." (Ayah… makasih ya mau main-main bersama di hari ini). Saya terharu. Pertama kalinya saya menyisihkan waktu yang sedikit, yang bagi mereka terasa berarti. Suatu ungkapan kecil namun bermakna begitu dalam.

Komunikasi penting bagi produktifitas. Seorang atasan yang sering berkomunikasi dengan sehat pada bawahannya akan menimbulkan efek positif. Bawahan merasa diperhatikan dan dilibatkan. Pekerjaan kantor pun akan dilakukan dalam suasana tenang, penuh semangat, rela berkorban, dan menyebabkan produktivitas meningkat.

Komunikasi juga tak terelakkan jika ingin orang lain mengenal dan memahami kita, termasuk memahami nilai-nilai yang kita bawa. Bukankah ada ungkapan Rasulullah saw, "Sampaikanlah dariku walau satu ayat." Kita tidak bisa mengharapkan orang lain mau mengenal Islam jika tidak mengkomunikasikannya, meski hanya satu ayat.

Misalnya dalam masa kampanye, semua sepakat komunikasi menjadi modal yang pertama. Selanjutnya, dalam kerangka yang lebih utama, yaitu da’wah, mengajak ke jalan Allah, mengajak pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Komunikasi menjadi "conditio sine qua nono", sesuatu yang harus dilakukan.

Masalahnya, dengan komunikasi saja ternyata persoalan belum selesai. Ada sesuatu yang diperlukan dalam komunikasi, yaitu bahan yang dikomunikasikan atau informasi. Pemilihan secara tepat informasi yang akan disampaikan menjadi penting karena informasi yang salah bisa mengakibatkan efek terbalik. Bisa jadi yang timbul malah kita mendapat kerugian besar.

Ada sebuah cerita, seorang ustadz lulusan luar negeri diminta ceramah di kampung. Sang ustadz diminta memberikan pencerahan agar masyarakat memahami kondisi bangsa yang kritis. Ia menyanggupi. Lalu dengan penuh semangat ia berdiri di podium.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, sebuah negara ibarat sebuah mobil. Kita sebagai penumpang adalah masyarakat dalam negara itu. Jika mobil dirawat dengan baik, maka sebagai penumpang kita akan merasa nyaman di dalamnya. Mobil itu akan mengantarkan kita ke tujuan. Siapa yang bertanggung jawab menjaga mobil agar tetap nyaman? Tentu saja semua yang ada di dalamnya. Supir sangat bertanggung jawab akan kondisi mobil. Supir yang ugal-ugalan akan membuat mobil nabrak sana nabrak sini, cepat rusak dan reot, akibatnya banyak biaya harus dikeluarkan hanya untuk perbaikan, dan kita tidak segera sampai pada tujuan. Yang kedua adalah penumpang, yang harus menjaga kebersihan. Sampah dalam mobil akan mengganggu kenyamanan. Penumpang juga tidak boleh membuang sampah sembarangan ke luar mobil, karena akan mengotori lingkungan.

Nah bapak-bapak, ibu-ibu, negara kita sama seperti mobil, yang jadi supir presiden dan kabinetnya. Penumpangnya kita, masyarakat. Sekarang mobil kita jalannya terseok-seok, karena sopir yang dulu begitu ugal-ugalan, membuat mobil hampir mogok nggak bisa jalan, rusak sana sini, kita perlu biaya banyak buat perbaikan. Akibatnya buat beli bensin saja hampir tidak bisa. Apalagi buat jalan mulus dan cepat sampai tujuan.

Bahkan untuk membuat mobil berjalan, sopir kita yang dulu telah ngutang ke sana kemari, 1800 triliun rupiah ditinggalkan sebagai utang pada kita. Hingga saat ini tiap hari kita ditagih untuk menyiapkan 300 milyar rupiah. APBN kalang kabut menerima beban berat. Supir kita berjumpalitan dengan gaya akrobat triple R: roll over dan lainnya, dalam upaya menjalankan mobil."

Para audience, yang awalnya merasa mengerti serta merta mengeryitkan kening. Susah membayangkan apa artinya milyar dan triliun kemudian triple R, karena mereka sehari-hari hanya pegang recehan. Ini karena sang komunikator kurang memahami pendengarnya. Padahal inilah kunci untuk membuat orang mengerti apa yang kita maksud.

Komunikasi itu penting, informasi juga penting. Tapi faktor sang penyampai komunikasi dan informasi ternyata jauh lebih penting. Kita ternyata harus bisa memilih berbagai informasi yang tersedia. Orang dibedakan dengan informasi yang dipakai dan dimilikinya. Orang bodoh dan terbelakang adalah mereka yang tidak memiliki informasi atau banyak memiliki informasi tetapi informasi yang tidak banyak manfaatnya.

Hamelink, seorang pakar komunikasi mengindikasikan bahwa informasi yang sekarang bergerak di dunia cenderung hanya mengalir searah, dari negara "maju" ke negara berkembang dan "terbelakang". Ratusan ribu berita dan informasi khususnya tentang gaya hidup luar menyerbu negara kita, sebaliknya informasi-informasi tentang sumber daya alam dan kekayaan di negara kita di ambil satelit negara luar. Jaringan pengintai perangkat militer canggih negara "maju" meliputi hampir semua negara berkembang, termasuk negeri kita.

Kita menjadi penentu, mana informasi yang harus kita ambil dan jaga dan mana yang tidak perlu. Seorang tentara unggul adalah mereka yang mahir dalam menggunakan senjatanya dan tahu peluru mana yang harus dipakai. Peluru yang jika ditembakkan ke musuh, bisa menaklukkan satu, dua, puluhan bahkan ratusan dan ribuan orang. Peluru maut itu di jaman sekarang berbentuk informasi. Senjatanya adalah komunikasi dan segala perangkatnya.

Dua hal itu yang saat ini bisa kita dapatkan dengan mudah dan kita latih agar menjadi unggul. Mush’ab bin Umair telah memberi contoh bagaimana menaklukan hati kabilah di Madinah, tidak mesti dengan pedang dan senjata, tapi lewat pemilihan informasi dan kata yang tepat. Kita pun harusnya bisa. Wallahu’alam

Antara mata dan hati

”Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang". Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin.
Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya’ir, "Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api."

Hampir sama dengan bunyi sya’ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, "Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan shalat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah."

Saudaraku,
Semoga Allah memberi naungan barakahNya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara pandangan mata. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahaya besar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. "Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu yang mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan saling mecela dan mencerai," jelas Ibnul Qayyim. Pemenuhan hasrat pencapaian seringkali menjadi dasar motivasi yang menggebu-gebu untuk mendapatkan atau menikahi seseorang. Padahal siap nikah dan siap jadi suami/istri adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama, nuansa nafsu lebih dominan; sedangkan yang kedua, sarat dengan nuansa amanah, tanggung-jawab dan kematangan.
Saudaraku,
Simak juga dialog imajiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhatul Muhibbin: "Kata hati kepada mata, "kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman dan kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah, "Hendaklah mereka menahan pandangannya". Kau salahi sabda Rasulullah saw, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya." (HR.Ahmad)
Tapi mata berkata kepada hati, "Kau zalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati " (HR. Bukhari dan Muslim). Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu . Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNya. Allah berfirman, "Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada". (QS.AI-Hajj:46)
Saudaraku,
Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Coba perhatikan tingkat-tingkat manfaat yang diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’i Syafi. "Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, menahan pandangan juga bisa menguatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaithan ke dalam hati.
Mengosongkan hati untuk berpikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNya tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang "nur", cahaya. (Al-Jawabul Kafi, 215-217)
Saudaraku,
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain, kedipan mata apalagi kecenderungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah swt, "Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati ". (QS. Al-mukmin:l9). Itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntun suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan ilmuLlah (pengetahuan Allah) . Pemeliharaan mata dan hati, bisa identik dengan tingkat keimanan seseorang.
Saudaraku,
Dalam sebuah hadits dikisahkan, pada hari kiamat ada sekelompok orang yang membawa hasanat (kebaikan) yang sangat banyak . Bahkan Rasul menyebutnya, kebaikan itu bak sebuah gunung. Tapi ternyata, Allah swt tak memandang apa-apa terhadap prestasi kebaikan itu. Allah menjadikan kebaikan itu tak berbobot, seperti debu yang berterbangan. Tak ada artinya. Rasul mengatakan, bahwa kondisi seperi itu adalah karena mereka adalah kelompok manusia yang melakukan kebaikan ketika berada bersama manusia yang lain. Tapi tatkala dalam keadaan sendiri dan tak ada manusia lain yang melihatnya, ia melanggar larangan-larangan Allah (HR. Ibnu Majah)
Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan salah, adalah ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati termasuk dalam situasi kesendirian, karena ia menjadi bagian dari suasana yang tak diketahui oleh orang lain, "Hendaklah engaku menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya yakinilah bahwa Ia melihatmu". Begitu pesan Rasulullah saw. Wallahu’alam.

Persiapan menghadapi kegagalan

Kegagalan memang resiko dari sebuah usaha dan kekecewaan adalah resiko dari keinginan. Kegagalan dan kekecewaan itu jelas pahit. Malangnya lagi kemungkinan terjadinya kegagalan atau keberhasilan adalah sama yaitu 50 = 50. Jadi setiap kita pasti pernah mengalami kegagalan dan kekecewaan ini dan dimasa yang akan datang kenyataan ini akan berulang lagi. Lalu siapkah kita menghadapinya dan bagaimana caranya agar kegagalan itu tak membawa keperihan yang berkepanjangan?
Sebenarnya ada tiga tipe penyebab kegagalan. Dua dari ketiga tipe ini adalah akibat kesalahan kita sendiri, yaitu kelemahan perencanaan dan rendahnya komitmen pelaksanaan. Kemudian yang ketiga adalah penyebab yang di luar dugaan.
Kelemahan perencanaan adalah penyebab kegagalan yang pertama. Ini terjadi akibat tidak realistisnya keinginan kita dan karena kurangnya penguasaan terhadap masalah yang berkaitan dengan keinginan tersebut. Ketidakrealistisan itu mencakup target yang ingin dicapai dan waktu pencapainnya. Ambil contoh: seorang yang baru saja menyelesaikan pendidikan kesarjanaan, langsung berkeinginan untuk melamar kerja di sebuah perusahaan besar sebagai seorang manajer. Tentu Anda tersenyum membaca keinginan orang tersebut, karena Anda paham bahwa untuk menjadi seorang manajer di perusahaan besar dibutuhkan pengalaman kerja bertahun-tahun dan orang yang baru lulus kuliah akan sangat sulit meraih posisi tersebut. Tapi, sadarkah kita bahwa sekali waktu kita pernah melakukan hal yang sama! “Kita harus optimis.” Kilah Anda.

Kurangnya penguasaan masalah menyebabkan kita tak mengetahui apa yang mesti dilakukan untuk mencapai keinginan atau kita salah memilih langkah. Saat ini orang lebih tertarik untuk memperdalam kiat dari pada mencoba memahami persoalan lebih mendalam. Orang banyak bertanya tentang: Bagaimana sih kiat menjadi pengusaha yang sukses tanpa berusaha memahami seluk beluk dunia usaha.
Rendahnya komitmen pelaksanaan merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan. Rencana hanya tinggal di atas kertas sedang apa yang kita lakukan adalah rutinitas. Bagaimana kita akan memperoleh keinginan kita, jika yang kita lakukan bukan hal-hal yang berkaitan langsung dengan keinginan kita tersebut.
Penyebab kegagalan ketiga adalah hal-hal yang di luar kekuasaan kita. Kita pahami bahwa kehidupan kita ini tak semata tergantung pada apa yang kita lakukan. Kita akan sangat terpengaruh dengan apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, seorang petani yang telah bekerja keras dan hampir panen, tiba-tiba harus kecewa karena diserang hama atau banjir.
Kegagalan, bagaimanapun juga akan membawa kepedihan di hati kita. Kita mungkin akan merasa sedih, frustrasi, tak berdaya atau bahkan mengalami depresi. Jika kepedihan itu terlalu berat Anda rasakan, Anda akan merasa takut untuk memulai kembali usaha tersebut. Anda merasa diri Anda terlalu bodoh dan tak berguna. Itu jelas berpengaruh buruk bagi kehidupan Anda di masa datang. Anda bisa jadi sangat pasif atau mungkin melakukan hal-hal yang destruktif lainnya.
Untuk mencegah kepedihan yang terlalu mendalam, ada baiknya Anda memiliki kesiapan untuk menghadapi kegagalan dengan memperhatikan poin-poin berikut:
1. Menyadari betul bahwa kegagalan merupakan resiko dari bentuk usaha apa pun. Kesadaran ini menyebabkan kita mempunyai ruang untuk dapat menerima kegagalan. Jangan pernah tanamkan dalam diri Anda bahwa usaha Anda akan seratus persen berhasil. Harus selalu ada ruang untuk menerima kegagalan di awal usaha Anda.
2. Menyadari bahwa setiap kegagalan pasti ada penyebabnya. Dengan kesadaran ini mendorong kita untuk mencari penyebab kegagalan ketimbang menyesalinya. Di atas telah dikemukan tiga hal penyebab kegagalan. Dari sini Anda dapat kembali mengevaluasi diri sendiri. Inilah yang membuat kita lebih matang setelah mengalami kegagalan. Kita mungkin akan sadar bahwa keinginan kita selama ini tak realistis atau kita kurang memiliki komitmen kerja atau kita akan bertambah keimanan kepada Allah bahwa Dia lah yang Maha mengatur segala sesuatu.
3. Jangan menghukum diri terlalu berat. Memang sebagian besar penyebab kegagalan adalah akibat kelemahan diri kita sendiri. Tapi cobalah lihat kelemahan itu dengan lapang hati, kita bukanlah makhluk yang serba bisa dan serba tahu. Kegagalan sebaiknya kita gunakan untuk mengetahui secara spesifik titik kelemahan kita dan langkah awal untuk melakukan perbaikan.
4. Jangan bohongi diri Anda dengan angan-angan, dan tak mau mengakui kegagalan. Anda boleh mempunyai keinginan memiliki Indeks Prestasi 3,5 di perkuliahan, namun terimalah kenyataan jika Anda tak berhasil mencapainya di akhir semester. Tak perlu Anda menghapus nilai di lembar hasil studi Anda dan menggantinya dengan yang Anda inginkan. Penipuan diri sendiri semacam itu justru membuat Anda lebih tertekan dan merasa tak tenang. Wallahu’alam bishawab.

Persiapan menghadapi kegagalan

Kegagalan memang resiko dari sebuah usaha dan kekecewaan adalah resiko dari keinginan. Kegagalan dan kekecewaan itu jelas pahit. Malangnya lagi kemungkinan terjadinya kegagalan atau keberhasilan adalah sama yaitu 50 = 50. Jadi setiap kita pasti pernah mengalami kegagalan dan kekecewaan ini dan dimasa yang akan datang kenyataan ini akan berulang lagi. Lalu siapkah kita menghadapinya dan bagaimana caranya agar kegagalan itu tak membawa keperihan yang berkepanjangan?
Sebenarnya ada tiga tipe penyebab kegagalan. Dua dari ketiga tipe ini adalah akibat kesalahan kita sendiri, yaitu kelemahan perencanaan dan rendahnya komitmen pelaksanaan. Kemudian yang ketiga adalah penyebab yang di luar dugaan.
Kelemahan perencanaan adalah penyebab kegagalan yang pertama. Ini terjadi akibat tidak realistisnya keinginan kita dan karena kurangnya penguasaan terhadap masalah yang berkaitan dengan keinginan tersebut. Ketidakrealistisan itu mencakup target yang ingin dicapai dan waktu pencapainnya. Ambil contoh: seorang yang baru saja menyelesaikan pendidikan kesarjanaan, langsung berkeinginan untuk melamar kerja di sebuah perusahaan besar sebagai seorang manajer. Tentu Anda tersenyum membaca keinginan orang tersebut, karena Anda paham bahwa untuk menjadi seorang manajer di perusahaan besar dibutuhkan pengalaman kerja bertahun-tahun dan orang yang baru lulus kuliah akan sangat sulit meraih posisi tersebut. Tapi, sadarkah kita bahwa sekali waktu kita pernah melakukan hal yang sama! “Kita harus optimis.” Kilah Anda.

Kurangnya penguasaan masalah menyebabkan kita tak mengetahui apa yang mesti dilakukan untuk mencapai keinginan atau kita salah memilih langkah. Saat ini orang lebih tertarik untuk memperdalam kiat dari pada mencoba memahami persoalan lebih mendalam. Orang banyak bertanya tentang: Bagaimana sih kiat menjadi pengusaha yang sukses tanpa berusaha memahami seluk beluk dunia usaha.
Rendahnya komitmen pelaksanaan merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan. Rencana hanya tinggal di atas kertas sedang apa yang kita lakukan adalah rutinitas. Bagaimana kita akan memperoleh keinginan kita, jika yang kita lakukan bukan hal-hal yang berkaitan langsung dengan keinginan kita tersebut.
Penyebab kegagalan ketiga adalah hal-hal yang di luar kekuasaan kita. Kita pahami bahwa kehidupan kita ini tak semata tergantung pada apa yang kita lakukan. Kita akan sangat terpengaruh dengan apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, seorang petani yang telah bekerja keras dan hampir panen, tiba-tiba harus kecewa karena diserang hama atau banjir.
Kegagalan, bagaimanapun juga akan membawa kepedihan di hati kita. Kita mungkin akan merasa sedih, frustrasi, tak berdaya atau bahkan mengalami depresi. Jika kepedihan itu terlalu berat Anda rasakan, Anda akan merasa takut untuk memulai kembali usaha tersebut. Anda merasa diri Anda terlalu bodoh dan tak berguna. Itu jelas berpengaruh buruk bagi kehidupan Anda di masa datang. Anda bisa jadi sangat pasif atau mungkin melakukan hal-hal yang destruktif lainnya.
Untuk mencegah kepedihan yang terlalu mendalam, ada baiknya Anda memiliki kesiapan untuk menghadapi kegagalan dengan memperhatikan poin-poin berikut:
1. Menyadari betul bahwa kegagalan merupakan resiko dari bentuk usaha apa pun. Kesadaran ini menyebabkan kita mempunyai ruang untuk dapat menerima kegagalan. Jangan pernah tanamkan dalam diri Anda bahwa usaha Anda akan seratus persen berhasil. Harus selalu ada ruang untuk menerima kegagalan di awal usaha Anda.
2. Menyadari bahwa setiap kegagalan pasti ada penyebabnya. Dengan kesadaran ini mendorong kita untuk mencari penyebab kegagalan ketimbang menyesalinya. Di atas telah dikemukan tiga hal penyebab kegagalan. Dari sini Anda dapat kembali mengevaluasi diri sendiri. Inilah yang membuat kita lebih matang setelah mengalami kegagalan. Kita mungkin akan sadar bahwa keinginan kita selama ini tak realistis atau kita kurang memiliki komitmen kerja atau kita akan bertambah keimanan kepada Allah bahwa Dia lah yang Maha mengatur segala sesuatu.
3. Jangan menghukum diri terlalu berat. Memang sebagian besar penyebab kegagalan adalah akibat kelemahan diri kita sendiri. Tapi cobalah lihat kelemahan itu dengan lapang hati, kita bukanlah makhluk yang serba bisa dan serba tahu. Kegagalan sebaiknya kita gunakan untuk mengetahui secara spesifik titik kelemahan kita dan langkah awal untuk melakukan perbaikan.
4. Jangan bohongi diri Anda dengan angan-angan, dan tak mau mengakui kegagalan. Anda boleh mempunyai keinginan memiliki Indeks Prestasi 3,5 di perkuliahan, namun terimalah kenyataan jika Anda tak berhasil mencapainya di akhir semester. Tak perlu Anda menghapus nilai di lembar hasil studi Anda dan menggantinya dengan yang Anda inginkan. Penipuan diri sendiri semacam itu justru membuat Anda lebih tertekan dan merasa tak tenang. Wallahu’alam bishawab.

Broken Home

Istilah "broken home" biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat ortu kita tak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah.
Ortu nggak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan kita di masyarakat.

Namun, broken home bisa juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak-anak. Bisa saja anak jadi murung, sedih yang berkepanjangan, dan malu. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan.
Karena orangtua merupakan contoh (role model), panutan, dan teladan bagi perkembangan kita di masa remaja, terutama pada perkembangan psikis dan emosi, kita perlu pengarahan, kontrol, serta perhatian yang cukup dari mereka. Orangtua merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pembentukan karakter kita selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan.

Nah, buat kita-kita yang mengalami broken home, gimana sih cara mengatasinya supaya kita tetap merasa "baik-baik" saja dan tidak menjadi malu serta tidak percaya diri atau lari dari masalah dengan cara-cara yang salah?
Sebenarnya ada banyak cara yang bisa kita lakukan apabila kita terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan ini. Awalnya sih sulit dan tidak gampang karena kita mesti menghadapi situasi yang belum pernah kita hadapi sebelumnya. Namun, bukankah setiap permasalahan itu ada jalan keluarnya? Nah, berikut ini ada beberapa cara ampuh untuk mengatasi situasi seperti itu.
Hadapi semuanya dengan sikap positif

Tidaklah semua yang terjadi itu merupakan hal buruk meskipun itu sesuatu yang berdampak negatif ke kita. Kita harus mencoba menerima keadaan dan berusaha tegar. Hal ini akan membantu kita mengatasi masalah tersebut.

Berpikir positif
Peristiwa yang kita alami kita lihat dari sisi positifnya. Karena di balik semua masalah pasti ada hikmah yang dapat kita petik. Jadikan itu semua sebagai proses pembelajaran bagi kita sebagai remaja menuju tahap kedewasaan. Jauhkan segala pikiran buruk yang bisa menjerumuskan kita ke jurang kehancuran, seperti memakai narkoba, minum-minuman keras, malah sampai mencoba untuk bunuh diri.

Jangan terjebak dengan situasi dan kondisi
Yang jelas, kita enggak boleh terjebak dengan situasi dan menghakimi orangtua atau diri sendiri atas apa yang terjadi serta marah dengan keadaan ini. Alangkah baiknya apabila kita bisa memulai untuk menerima itu semua dan mencoba menjadi lebih baik. Keterpurukan bukanlah jalan keluar. Sebaiknya sih kita bisa tegar dan mencoba bangkit untuk menghadapi cobaan ini. Tetap berusaha itu kuncinya.

Mencoba hal-hal baru
Tidak ada salahnya kita mencoba sesuatu yang baru, asal bersifat positif dan dapat membentuk karakter positif di dalam diri kita. Contohnya, mencoba hobi baru, seperti olahraga ekstrem (hiking, rafting, skating atau olahraga alam) yang dapat membuat kita bisa lebih fresh (segar) dan melupakan hal-hal yang buruk.

Cari tempat untuk berbagi
Kita enggak sendirian lho, karena manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain. Mencari tempat yang tepat untuk berbagi adalah solusi yang cukup baik buat kita, contohnya teman, sahabat, pacar, atau mungkin juga saudara. Ya… usahakan tempat kita berbagi itu adalah orang yang dapat dipercaya dan kita bisa enjoy berkeluh kesah dengan dia.
Beberapa hal di atas dapat dijadikan acuan buat kita karena sebenarnya semua permasalahan itu ada solusinya.

Enggak perlu panik
Kita enggak bisa mengelak apabila itu terjadi pada keluarga kita walaupun kita tidak menginginkannya. Enggak perlu panik ataupun sampai depresi menghadapinya. Walaupun berat, kita juga musti bisa menerimanya dengan bijak. Karena siapa sih yang mau hidup di tengah keluarga yang broken home? Pasti semua anak enggak akan mau mengalaminya.

Broken home bukanlah akhir dari segalanya bagi kehidupan kita. Jalan kita masih panjang untuk menjalani hidup kita sendiri. Pergunakanlah situasi ini sebagai sarana dan media pembelajaran guna menuju kedewasaan. Ingat, kita tidak sendiri dan bukanlah orang yang gagal. Kita masih bisa berbuat banyak serta melakukan hal positif. Menjadi manusia yang lebih baik belum tentu kita dapatkan apabila ini semua tidak terjadi. Mungkin saja ini merupakan sebuah jalan baru menuju pematangan sikap dan pola berpikir kita.

Privacy Policy




Fiuh, ini blog ribet amat kayaknya, akhirnya yang punyak nyadar diri juga, ahahah. Sebenarnya ini blog gak ribet kok, cuma dibikin ribt aja, wkwkwk. Stay Enjoy ..

Lagi_2 Indonesia berduka

Lgi2 Indonesia berduka . . . Turut belasungkawa,, atas trjdix gempa d JawaBarat,, buat sodara dn sahabt2ku . . . sbr yc menerima smua ini,, believe certain god always pity same you all.

« Beberapa Permasalahan Remaja Peran Orangtua dalam Membangkitkan Potensi Anak » Orangtua Bercerai, Siapkah Mental Anak?

“Ibu, kenapa kita sekarang tinggal bersama kakek dan nenek? Ayah tinggal di mana, ma? Kasihan ya ayah tinggal sendirian, nggak sama kita lagi. Ayah pasti kesepian deh. Yuk kita tinggal bareng ayah lagi, adik kangen sama ayah.” Mendengar pernyataan ini, tentulah orang sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dalam keluarga tersebut. Apalagi kalau bukan perceraian. Angka perceraian di Indonesia termasuk meninggi kian waktu. Banyak perkawinan berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian selebritis Indonesia akhir-akhir ini. Apa sesungguhnya dampak perceraian terhadap mental anak?

PERCERAIAN pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, sebagaimana ditulis e-psikologi.com, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup.

Umumnya, orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.

Tidak demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Tiba-tiba saja ayah tidak lagi pulang ke rumah, atau ibu pergi dari rumah, atau tiba-tiba bersama ibu atau ayah pindah ke rumah baru. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Atau mungkin ada anak yang tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar karena orangtuanya benar-benar “rapi” menutupi ketegangan antara mereka berdua agar anak-anak tidak takut.

Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.

Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan orangtua (ayah dan ibu) untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka? Artinya, bagaimana orangtua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian?

Masa Kritis

Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan banyak konflik dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orangtuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, anak dapat mulai menjadi pemurung. Karenanya, sangat penting untuk tidak bertengkar di depan anak-anak.

Lalu, bagaimana halnya jika akhirnya berpisah? Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk dalam batin anak-anak. Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.

Perasaan-perasaan itu, oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.

Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya. Tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa, menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis.

Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua, dapat menerima rasa kehilangan, tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri, serta menjadi dirinya sendiri lagi.

Sikap Orangtua

Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing anak. Namun, sebagai orangtua, mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya.

Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan (sikap) orangtua orangtua agar anak sukses beradaptasi, jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan, adalah sbb.;

1. Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama mama dan papa, tapi hanya dengan salah satunya.
2. Sebelum berpisah, ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika harus pindah rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya.
3. Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah. Misalnya, tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.
4. Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
5. Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salah si anak.
6. Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara berkunjung, menelepon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya.
7. Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu.
8. Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
9. Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan diinginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi.
10. Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak.
11. Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar-kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan.
12. Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam.
13. Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan.
14. Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponslah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan “anak kecil mau tahu saja urusan ayah-ibu”.

Tidak Mudah

Dari saran-saran tersebut terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang anak. Saran-saran itu memang tidak mudah dilakukan, apalagi jika perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan kebencian satu sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang berpikir, “Anak saya baik-baik saja kok, dia tidak apa-apa meskipun tidak ada ibunya/ayahnya. Lihat dia ceria-ceria saja, badannya sehat, sekolahnya juga rajin”. Tapi tahukah Anda apa sebenarnya yang ada dalam hati sang anak?

Kalau perceraian memang tak terhindari lagi, maka mari membuat perceraian tersebut tidak merugikan anak. Suami-istri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orangtua ikut juga bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan menginginkan kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri bergantung pada ekspresi cinta kedua orangtuanya.

Bagi Anda yang akan, sedang atau telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut dan masa depan anak-anak Anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin carut marut dengan membiarkan anak-anak yang tidak berdosa menjadi terlantar. (*)

IT'S JUST BROKEN HOME NOT BROKEN US!

for everyone
Sering banget istilah broken home kita temui, seperti situasi keluarga yang berantakan karena orangtua tidak peduli sama keluarga, keadaan yang bikin kita nggak betah di rumah, dan kondisi yang tidak harmonis bisa disebut broken home.
Sebagian orang mengatakan, broken home akan berakhir pada perpisahan atau perceraian suami-istri yang dilandaskan pada keputusan terbaik. Mungkin iya untuk mereka, tapi apa itu juga yang terbaik untuk kita sebagai anak????
Kita sebagai anak yang biasa dijadiin korban pasti bingung harus gimana. Bisa kita jadi murung, sedih, dan malu. Kita juga jadi hilang pegangan dari orangtua yang seharusnya membimbing kita. Nggak ada satu orang pun yang menginginkan keadaan keluarga kayak gini. Kita harus bangun dari "mimpi buruk" itu….
1. Nggak boleh nyerah sama keadaan. Coba ngomong sama orangtua buat membicarakan masalah yang ada sampai nemuin kunci buat nyelesein.
2. Kalau nggak berhasil nyatuin, ya kita tetep harus selalu mikir positif sama apa yang terjadi. Kita harus coba menerima dan tegar. Jauhkan segala pikiran buruk yang bisa menjerumuskan kita menuju kehancuran atau malah menyiksa diri sendiri.
3. Cobain deh hal-hal baru yang menantang, kayak hiking, rafting, atau olahraga alam. Yang bisa bikin kita lebih segar dan ngelupain hal-hal buruk.
4. Kita nggak sendirian lho! Lo bisa cari tempat buat cerita-cerita.Tapi, yang pasti cuma orang-orang tertentu yang bisa dipercaya aja lho. Jangan sembarang orang!
5. Bangun dari mimpi masa lalu. Kita harus belajar sadar bahwa di balik keputusan bokap-nyokap yang nyakitin kita, larut dalam keadaan nggak bikin kita sehat atau dapetin kebahagiaan yang kita inginkan. Buktiin kalau kita bisa. Buktiin kalau kita tetap sama kayak anak lain. Buktiin kalau kita bisa ngasih yang lebih baik daripada yang lain. Tetap berusaha dan semangat ! Itu kuncinya.
6. "Take a new position at our home". Mungkin setelah nggak ada lagi papa-mama di rumah, kita bisa ngambil posisi mereka di rumah. Kita belajar untuk lebih dewasa dan kita bisa belajar bertanggung jawab lebih besar dibandingkan anak-anak lain.
7. "Let the history be the history and do something for the future". Masa lalu biarin aja jadi masa lalu, jangan terus-terusan nyalahin apa yang udah terjadi. Inget, kita nggak hidup untuk masa lalu, tapi buat masa depan. Jangan jadi minder sama keadaan kita yang bukan dari "happy family". Justru jadiin itu motivasi buat masa depan yang lebih baik.
8. "Don’t waste your time just for something useless". Jangan pernah tertarik sama narkoba atau hal-hal negatif semacamnya. Pelarian kayak gitu sama sekali nggak menyelesaikan masalah. Malah bakal menambah masalah.
9. "Keep praying". Tuhan pasti selalu ngasih jalan yang terbaik buat kita. Walaupun kadang-kadang kita merasa nggak dikasih keadilan, suatu saat lo pasti tahu. Kita bener-bener udah dikasih apa yang terbaik dan yang paling baik di antara semuanya
Kompas

Remaja Punya Masalah, No Problem!

Adakah di antara kita yang sedang punya masalah? Kalau ada, berarti kita remaja normal. Hehe. Meskipun begitu, ada kalanya masalah yang kita hadapi bener-bener membuat kita stres! Contoh: kasus perceraian dalam keluarga, stres belajar, masalah telat ke sekolah karena ngga bisa mengatur waktu dan bahkan stres karena nge-jomblo!

:D

Tapi satu yang pasti: kalo kamu pernah atau sedang stres - itu tandanya kamu memikirkan masalahmu, tidak ingin mengabaikannya.

Namun, sayang sekali beberapa remaja tidak siap untuk menghadapi masalah. Yang ada mereka malah menghindar dan berupaya lari dari masalah - bukannya menyelesaikannya. Beberapa remaja banyak tidur, nonton teve, jatuh ke dalam jurang kenakalan remaja seperti menggunakan narkoba, menyalahgunakan obat-obat, pesta, dan ada yang melakukan tindakan seks di luar nikah.

Padahal mereka hanya akan dikatakan sebagai PENGECUT jika lari. Setuju?

:-q

Yup! Pengecut! Mereka berupaya mengalihkan perhatian… Bukan, bukan saja mengalihkan perhatian tetapi acuh dan melarikan diri. Kalo kek gitu, kapan masalahnya selesai, iya toh? Masalah malah akan bertambah jika cuma berani bermellow-mellow-an atau menjadi pemberontak.

[-(

Nah, buat remaja yang sekarang sedang punya yang namanya masalah, Helda punya dua contoh barang yang mungkin bisa memotivasimu untuk berani menghadapi masalah!

1. Virus

Tau virus kan? Siapa yang ngga kenal virus. Virus bisa bertahan hidup sampai sekarang dan bahkan semakin kuat, dia menjadi resistan atau semacam kebal terhadap antibiotik. Semakin kita melenyapkan dia, dia semakin kebal.

2. Emas

Emas bisa jadi sangat indah dan murni karena apa? Dia harus ngelewatin proses kalo manusia yang mengalaminya pasti akan terasa sakit sekali. Yup! Dia harus dilebur dulu dalam tungku panas. Tapi, dengan cara itulah emas bisa seperti yang kita lihat!

Kesimpulannya:

Masalah boleh jadi datang bertubi-tubi menimpa kita, masalah juga datangnya pada saat yang tidak tepat, misal pada usia remaja yang seharusnya kita tidak alami itu. Namun, kalo kita ambil dari sisi positif dan kita berani menghadapinya - maka kita seperti virus dan emas! Semakin kuat dan kebal, makin ganteng/cantik, dewasa dan matang pula! Usia boleh remaja, tapi pikiran dewasa!

Semangat!

Remaja punya masalah, no problem!

;)

Kenakalan Remaja

Setelah kita kemarin cerita soal pelecehan seksual terhadap remaja, ngga ada salahnya kalo kita memundurkan pembicaraan - kenakalan remaja. Yang pasti yang satu ini worth it banget buat dibahas, gila aja makin hari makin marak perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja!

Ada tawuran, ngelakuin seks bebas, narkotika, alkohol dan sebagainya. Oke, Helda udah nyebutin frasa kenakalan remaja satu kali, sebenarnya apa sih kenakalan remaja itu? Apa cuma nakal-nakal, sedikit nakal atau kenakalan (baca: terlalu nakal)?

Kata pakar-pakarnya nih, kenakalan remaja itu bisa didefinisikan sebagai perilaku menyimpang atau tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. (Kartono, 2003).

Apa kenakalan remaja itu hanya mencakup tindakan-tindakan yang akan membawa kita ke dalam bui, Helda? Jawabannya tidak!

Silahkan perhatikan definisi kenakalan remaja yang sudah disebutkan di atas tadi. Sekarang… Kenapa seorang remaja bisa terjun ke dunia “kenakalan remaja” dan bagaimana kita sebagai remaja bisa menghadapinya? Berikut penjelasannya, tentunya berdasarkan perspektif seorang remaja.

;)

Balik ke definisi awal kenakalan remaja - suatu tindakan menyimpang/tidak dapat diterima sosial. Nah, pertanyaannya: kenapa remaja melakukan pemberontakan? Ada 3 hal yang berperan penting dalam hal ini, yaitu:

* Keluarga
* Pergaulan
* Remaja itu sendiri

1. Keluarga

Yang paling rentan ini nih (walau di poin ketiga yang akan dibahas berikut adalah kuncinya)! Kenapa ngga? Gimana jadinya anak atau remaja di masa depan, ditentukan oleh cara didik orang tua. Nah, cara mendidik ini yang menjadi satu hal yang masih dipertanyakan, sebenarnya gimana sih? Helda aja masih bingung, hehe, ya iya lah. Tapi, satu hal yang perlu diingat adalah: seimbang. Otoriter atau istilah lebih halusnya tegas, permisif serta demokratisnya haruslah sesuai kadar.

Ketika orang tua otoriter, maka yang kita sebut sebagai kenakalan remaja akan muncul dalam artian ingin memberontak. Sementara kalo ortu permisif, remaja malah akan mencari-cari perhatian dengan segala tingkah lakunya yang kemungkinan besar menjurus ke kenakalan remaja. Bahkan orang tua yang demokratis sekalipun, Helda saja sebagai remaja ngga bisa menjamin akan menggunakan kebebasan namun bertanggung jawab dari paham demokratis ini. Karena…

:-?

2. Pergaulan

Yup! Pergaulan remaja. Tekanan teman bahkan sahabat, apakah itu yang namanya rasa solidaritas, ingin diterima, dan sebagai pelarian, benar-benar ampuh untuk mencuatkan kenakalan remaja yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja.

Kalo di dalam keluarga, remaja memberontak atau mencari perhatian yang menjurus ke tindakan kenakalan remaja demi orang tua. Nah ini, malah ke kebutuhan yang lain! Yup! Teman, sabahat dan diterima dalam pergaulan yang merupakan suatu kebutuhan.

3. Remaja Itu Sendiri

Pada hakikatnya apa yang dilakuin oleh seorang remaja ketika mencoba menarik perhatian dari ortu terlebih lagi teman, adalah untuk memuaskan diri remaja itu sendiri. Memuaskan di sini bukan hanya dalam arti negatif aja yah. Namun, demi memuaskan obsesinya itu - sering malah ‘keterlaluan’ dan ‘berlebihan’!

Bukankah apa pun yang terjadi kalo memang remaja tersebut punya ‘hati yang besar’ menyadari bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan ‘perhatian itu’, pasti dia bisa untuk tidak terperosok ke dalam jurang kenakalan remaja.

*Nih Helda koq ngga memihak para remaja yah?

:D

Postingan ini hanyalah pelengkap untuk postingan berikutnya. Tadi kan kita sudah bahas mengenai kenakalan remaja, yang udah disebutin bahwa keluarga itu berperan penting. Helda pikir rata-rata remaja sekarang hidup dalam keluarga berantakan atau broken home, orang tuanya sering bertengkar, dan bahkan bercerai. Masih ingat dengan artikel blog remaja “Penyebab Kasus Perceraian Keluarga“? Karena itu, Helda bakal menyajikan postingan berseri (kayak masakan aja yah):

* Ortu Sering Bertengkar, Bagaimana Remaja Bersikap?
* Orang Tua Bercerai
* Aku Bangga Jadi Remaja dari Keluarga Broken Home!
* dll

Semoga artikel kenakalan remaja ini dan artikel-artikel berseri dari blog remaja yang dijanjikan bisa membuat para remaja menghadapi dan melawan tindakan menyimpang yang ngga ada gunanya…

;)

Kirim Pesan Pribadi Ke Saya !!!


Your Name
Your Email Address
Subject
Message
Code Verification
captcha
Please enter the text from the code:
[ Refresh Code ] [ What's This? ]
   

Powered byEMF Form Builder
WWW.RICHOKU.CO.CC
  • RICHO
  • PRESENTS
  • WIDGETS
  • TEMPLATES
  • WORM TECHNIQUES
  • INSPIRATIONS

About Me

Foto saya
http://go.richoku.com/tentang-richo

Mau Berlangganan Artikel Gak Penting Di Sini ...

Masukan Alamat Email Anda:

Berlangganan Artikel Via Email Gratis!

Recent Posts

”"
IP
free counters
Google Translate
Arabic Korean Japanese
Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German
Spain Italian Dutch

Categories